Tuesday, November 19, 2013

Seseorang yang duduk disana

Matahari menjulang tinggi. Memamerkan silau panas cahayanya. Langit yang tidak mau kalah ikut menyapu awan. Membersihkan. Menunjukan indah biru warnanya. Tidak lupa burung burung terbang kesana kemari. Bernyanyi riang. Beriringan dengan suara samar penghuni sekolah. Suara derap kaki murid berlarian. Tertawa jahil. Menyeringai. Ah, Hari yang indah.




Inilah dia, keadaan siang sebuah sekolah yang konon unggul katanya. Bernafaskan prestasi. Berbudi pekerti. Mengatasnamakan ilahi.

Di pojok sekolah itu, sebuah koperasi berdiri. Tidak besar. Hanya sebuah ruangan kecil sederhana yang berdebu. Berisi sebuah sofa usang dan lemari kecil berisi aksesori sekolah. Dipenuhi oleh hirup wangian tembakau. Asap asap mengepul dimana mana. Di dalamnya banyak guru berduduk santai menghisap batang rokoknya. Kecuali satu.

Tepat disamping koperasi, terdapat sebuah bangku dan meja kayu sederhana. Duduklah dia. Seorang guru. Umurnya sudah terbilang tua. Mungkin sudah terbilang 60-an. Dengan umur segitu dia seharusnya sudah pensiun, tidak mengajar. Wajahnya keriput. Badannya ringkih. Berjalan saja sudah susah. Tapi mata itu tidak berhenti bercahaya. Melihat dunia yang semakin miring. Melihat dunia yang sungguh berbeda.

Dahulu sekolah hijau asri. Tanpa sampah bahkan secuil plastik.
Dahulu murid yang mencarinya, bukan senang karena dia tak datang.
Dahulu teman temannya bervisi sama, bukannya duduk merokok, mengepul asap.
Dahulu disiplin adalah segalanya. Peraturan adalah peraturan. Meski harus memecutkan sebuah penggaris diatas tangan murid kesayangannya.

Zaman berubah. Semua berubah. Termasuk dengan sekolah unggulan ini berserta komponen manusianya. Sungguh rindu dia dengan dahulu masa hidupnya. Namun apalah yang bisa diperbuat orang tua ini. Rindu sungguh tiada guna. Mengenang justru sakit rasanya. Hanya duduk menatap, dan percaya bahwa semua masih bisa berubah. Percaya dan melakukan setiap porsi peran hidupnya.

*Kriing*

Bel berbunyi. Tangannya yang rapuh menyiapkan tas hitam antik. Berisikan laptop tua entah masih pentium berapa dan beberapa buku bahan ajar. Dengan kakinya yang ringkih dia berdiri. Melangkah perlahan. Berjalan kuyu terpogoh pogoh. Keliatan menyedihkan dari luar memang. Namun jika dilihat lebih dalam. Terlihat sesosok patriot gagah berjalan bersemangat. Meninggalkan teman temannya yang masih asik memenuhi asbak. Memenuhi segala panggilan jiwanya. Menjadi seorang guru.

0 komentar:

Post a Comment

 
;